Oleh: hudzai | 2 Februari 2009

Pemikrian Tasawuf Hamka

PEMIKIRAN TASAWUF HAMKA
(Studi analisa atas buku Tasawuf Modern)

Oleh: Imam Taufik Alkhotob
I. Sekilas Biografi Hamka
Nama lengkap Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (L.16 Februarui 1908 – W.24 Juli 1981 M). Ia dilahirkan di desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Rumahnya terletak di Kampung Tanah Sirah, Sungai Batang, sebuah bangunan bercorak rumah adat Minang Kabau dengan posisi berdiri di pinggir jalan menghadap ke arah Danau Maninjau. Dalam sejarah nasional, daerah Maninjau merupakan tempat di mana dilahirkan tokoh-tokoh politik, ekonomi, pendidikan dan pergerakan Islam seperti Mohammad Natsir, A.R Sutan Mansyur, Rasuna Said, dan lain-lain.
Dilihat dari nasab keturunannya, Hamka adalah keturunan tokoh-tokoh ulama di Minangkabau yang tidak semuanya memiliki faham keislaman yang sama, baik itu dalam masalah furû’ maupun ushûl. Kakek Hamka sendiri Syaikh Muhammad Amrullah adalah penganut tarekat mu’tabarah Naqsabandiyah yang sangat disegani dan dihormati bahkan dipercaya memiliki kekeramatan dan disebut-sebut sebagai wali. Syaikh Muhammad Amrullah mengikuti jejak ayahnya Tuanku Syaikh Pariaman dan saudaranya Tuanku Syaikh Gubug Katur. Ia pernah berguru di Makkah dengan Sayyid Zaini, Syaikh Muhammad Hasbullah, bahkan ikut belajar kepada mereka yang lebih muda seperti Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Taher Jalaludin. Kerapkali masyarakat setempat mencari berkah melalui sisa makanan, sisa minuman atau sisa air wudhu dan sebagainya.

Akan tetapi ayah Hamka yang bernama Syaikh Abdul Karim Amrullah yang biasa dipanggil dengan sebutan Haji Rasul memiliki pemahaman yang berbeda dengan pendahulunya. Meskipun sama-sama belajar di Makkah, Haji Rasul terkenal sangat menolak praktek-praktek ibadah yang pernah dilakukan dan dida’wahkan ayah dan kakeknya. Ia dilahirkan pada ahad 17 Shafar 1296 H (16 Februari 1879 M) dan terkenal sebagai tokoh pembaharu (at tajdîd). Dalam kondisi dan situasi yang penuh dengan pertentangan antara kaum muda dan kaum tua itulah Hamka dilahirkan dan melihat sendiri sepak terjang yang dilakukan ayahnya. Situasi itu agaknya memiliki persamaan sabagaimana yang pernah terjadi di akhir tahun 1910 di kota Surabaya antara kaum muda dan kaum tua (Kaum tua dipimpin oleh Kiai Wahab Hasbullah, kaum muda dikomandoi oleh Kiai Haji Mas Mansyur, Ahmad Syurkati, dan Fakih Hasjim. Pada kenyataannya, Hamka sendiri banyak mengikuti cara berfikir ayahnya dalam memahami pokok-pokok agama Islam, meskipun berbeda dalam sisi pendekatan. Haji Rasul keras, sementar Hamka lebih santun.
Hamka mengawali masa pendidikan di dalam pengawasan langsung ayahnya. Ia mulai mempelajari al Qur’an dari orang tuanya hingga usia enam tahun, yang ketika itu berpindah rumah dari Maninjau ke Padang Panjang di tahun 1948. Setahun kemudian di usia Hamka yang ke tujuh tahun sang ayah memasukkannya ke sekolah desa. Di sekolah desa itu ia hanya menjalaninya selama tiga tahun. Akan tetapi di sisi lain ia juga mendapatkan pendidikan di sekolah sekitarnya (sekolah-sekolah agama di Padang Panjang dan Parabek dekat Bukit Tinggi) kira-kira tiga tahun lamanya pula. Disebutkan pula, bahwa Hamka pernah memasuki Diniyah School dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan di Parabek dari tahun 1916 hingga 1923. Guru-gurunya waktu itu adalah Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainudin Labai. Kondisi Padang Panjang waktu itu ramai dikunjungi oleh para penuntut ilmu dari daerah-daerah. Hamka juga pernah berguru dengan A.R Sutan Mansur, R.M Surjo Pranoto dan Kibagus Hadikusumo dalam pendidikannya di surau dan di masjid. Tentang bagaimana Hamka merasakan pendidikan ayahnya yang keras, A.R Sutan Mansur sebagai orang yang dekat serta berpengaruh dalam perkembangan pola fikir Hamka juga berpendapat sama.
Para sejarawan mengenal Hamka dengan semangat otodidaknya yang gigih. Ia belajar sendiri tentang buku-buku yang menurutnya penting. Ilmu-ilmu seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik baik yang datang dari Islam maupun Barat ditelaahnya dengan bermodal pendidikan yang pernah diterimanya. Hamka sendiri pernah dijuluki “Al Manfaluthi Indonesia” oleh para rekan sezamannya (1876-1924). Ketika Hamka berusia 16 tahun, pencarian ilmunya dilanjutkan dengan hijrah ke tanah Jawa pada tahun 1924. Kepergian Hamka yang tanpa sepengetahuan ayahnya ini menjadikan ia terkenal dengan sebutan “sibujang jauh” (anak yang tak kunjung pulang). Di Jawa ia berinteraksi dengan beberapa tokoh Pergerakan Islam modern seperti H. Oemar Said, Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), R.M Soerejo, Pranoto (1871-1959), dan KH Fakhrudin (ayah dari KH Abdur Razzaq). Disanalah Hamka mendapatkan kursus-kursus pergerakan bertempat pada gedung Abadi Dharmo Pakualam Yogjakarta. Kota Yogjakarta terlihat memiliki arti penting dalam proses perkembangan pribadi dan pemikiran Hamka. Kota itu telah memberikan kesadaran baru dalam beragama yang selama ini difahami olehnya. Ia sendiri menyebutkan bahwa di kota inilah ia menemukan “Islam sebagai sesuatu yang hidup, yang menyodorkan suatu pendirian dan perjuangan yang dinamis.” Di Yogjakarta Hamka lebih banyak menginternalisasikan ilmu-ilmu yang lebih berorientasi kepada peperangan terhadap keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan, serta bahaya kristenisasi yang mendapat sokongan dari pemerintah kolonial Belanda. Hal itu berbeda dengan pendidikan semasa masih di kampung halaman yang lebih berorientasikan pada pembersihan akidah dari syirik, bid’ah dan khurafat di mana penampilan perjuangan itu sudah terlihat semenjak munculnya Perang Paderi sampai kemasa tiga serangkai; Haji Abdullah Ahmad, Syeikh Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Muhammad Djamil Djambek. Ditahun-tahun berikutnya, Hamka kemudian mulai banyak berkiprah dan mengabdikan diri kepada umat, baik melalui gerakan Muhammadiyah maupun pada lembaga lainnya.
Dapat difahami bahwa peran dan aktifitas Hamka telah ia lakukan baik melalui perannya di dalam tubuh organisasi khususnya Muhammadiyah, sebagai ketua atau pengurus dalam menjalankan beberapa Majalah Islam, sebagai delegasi antar negara dan lain sebagainya. Hamka sendiri melihat bahwa gerak da’wah mestilah mencakup kepada berbagai bidang. Oleh sebab itulah, dimanapun seseorang berkiprah disanalah ia mesti melakukan amal da’wah secara terorganisir.
Aktivitas Hamka dalam da’wah lebih terlihat setelah kepulangannya dari Makkah tahun 1927 di mana ia langsung menuju kampung halaman dan menjadi guru di sana sekaligus menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan pada usia ke 21. Secara umum, kita dapat melihat peran dan aktivitas Hamka kepada umat sebagai berikut; Menjadi guru agama di perkebunan Tebing Tinggi, Medan (1927), menjadi guru agama di Padang Panjang (1929), dilantik sebagai pensyarah di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang (1957-1958), dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo Jakarta dan kemudian dari tahun 1951-1960 dilantik sebagai pegawai tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, perannya di Muammadiyah dimulai sejak tahun 1925 dengan menda’wahkan pentingnya kembali kepada prinsip al Qur’an dan as Sunnah. Tepatnya di Padang Panjang, Hamka menjadi peserta pertama mukhtamar Muhammadiyah dari tahun 1928 hingga akhir hayatnya, memangku beberapa jabatan mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian ketua Tabligh Muhammadiyah, sampai menjadi ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Ia diutus untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis (1930), pada tahun yang sama beliau menjadi penulis surat kabar Pembela Islam Bandung dan mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh seperti Mohammad Natsir, dan Ahmad Hasan (1930). Hamka kembali diutus oleh pengurus Muhammadiyah Pusat untuk menyambut Mukhtamar Muhammadiyah ke 21 (Mei 1932), sempat mendirikan Majalah Al Mahdi di Makassar di tahun yang sama (1932), pada tahun 1934 ia kembali ke Padang Panjang dan diangkat menjadi konsul Muhammadiyah Sumatera Barat. Setelah itu ia pindah kediaman ke Medan dan terjun dalam gerakan Muhammadiyah Sumatera Timur dan sekaligus memimpin majalah Pedoman Masyarakat (22 Januari 1936) hingga terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur (1942). Tahun 1945 ia meletakkan Jabatan itu karena pindah ke Sumatera Barat, dan terpilih sebagai ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah daerah Sumatera Barat (1946-1949). Sesudah itu Hamka terpilih menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada mukhtamar ke 32 di Purwakarta (1953) dan sejak itu beliau selalu terpilih dalam mukhtamar yang diadakan. Baru dalam mukhtamar tahun 1971 di Makassar, karena merasa uzur ia memohon agar tidak dipilih kembali. Akan tetapi semenjak itu pula ia diangkat sebagai Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya, Hamka mendapatkan kesempatan untuk melawat ke manca Negara. Pertama ke negara Arab di tahun 1950. Kemudian pada tahun 1952 kembali berkunjung ke Amerika Serikat atas undangan Menlu AS. Semenjak itulah Hamka sering kali mendapat undangan dan menjadi delegasi Negara Indonesia untuk menghadiri acara-acara internasional keagamaan, khusus di bidang politik, peran Hamka dimulai dari aktivitasnya di tahun 1925 di dalam Partai Serikat Islam. Hingga pada tahun 1945 ia membantu perjuangan melawan pihak kolonial melalui pidato-pidato dan menyertai kegiatan gerilya di hutan belantara Medan, Hamka kemudian dilantik menjadi ketua Front Pertahanan Nasional Indonesia (1947). Menjadi anggota konstituante mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah untuk Partai Masyumi pada tahun 1955. Konstituante dibubarkan (1959) dan dengan dibubarkannya Masyumi pula (1960) ia memusatkan kegiatanya dalam da’wah melalui ta’lim dan tabligh dan menjadi imam masjid agung Al Azhar Kebayoran Jakarta. Merasakan hidup di Penjara pada rezim Soekarno, atas tuduhan (fitnah) makar anti Soekarno (GAS: Gerakan Anti Soekarno). Ia dipenjarakan di rumah sakit pemberian Rusia tepatnya di daerah Rawa Mangun yang diberi nama R.S Persahabatan. Bersamanya pula Mr. Kasman, Ghazali Sahlan, Dalari Umar, Yusuf Wibisono. Hamka sendiri baru dibebaskan ada 23 Mei 1966. Sebelumnya telah ditangkap pula rekan-rekannya seperti; Mohammad Natsir, Syafrudin Prawira Neraga, Syahrir, Mohammad Roem, Prawoto, Yunan Nasution dan Isa Anshori pada tahun 1962 karena dituduh sebagai pemberontak PRRI. Hamka terpilih sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975 oleh pemerintahan orde baru. Yang kemudian terpilih kembali pada periode kedua tahun 1980, dengan salah satu ungkapannya yang terkenal “Kalau saya diminta menjadi ketua Majelis Ulama, saya terima. Akan tetapi ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli.”
Hamka tidak hanya memiliki kemampuan memberikan pidato atau mengisi ceramah di depan podium, akan tetapi ia juga seorang penulis yang sangat produktif. Jumlah tulisannya dalam bentuk buku hingga mencapai 118 buah, dari Khatibul Ummah, Tasawuf Modern (1939), dan yang terakhir Tafsyir Al Azhar 30 Juz.

II. Tentang Buku Tasawuf Modern
Buku dengan judul “Tasawuf Modern” hasil karya Hamka ini adalah tulisan-tulisan yang pernah dituangkan olehnya di dalam salah satu rubrik pada majalah Pedoman Masyarakat dengan judul “Bahagia”. Adapun penamaan buku ini menjadi Tasawuf Modern dikarenakan rubrik yang telah terlanjur melekat di hati pembaca itu adalah rubrik “Tasawuf Modern”. Tulisan ini mulai disusun pada tahun 1937 dan berakhir pada nomor ke 43 pada tahun 1938, baru kemudian dibukukan atas permintaan sahabat Hamka yang bernama Oei Ceng Hein, salah seorang mubaligh yang terkenal di Bintuhan.
Sebagaimana yang tertera dalam pengantar cetakan pertama, Hamka memberikan keterangan tentang mengapa rubrik yang dipakai di dalam menuangkan tulisannya itu bernama Tasawuf Modern. Menurutnya, meskipun tulisan yang ia tuangkan juga merujuk pada buku-buku tasawuf (klasik), akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk mengetengahkan ilmu tasawuf yang telah dipermodern. Di dalam catatan pendahuluan buku ini disebutkan;
“Meletakkan rubrik ‘Tasawuf Modern’ itupun menjadi bukti bahwasannya kita juga mencintai hidup di dalam tasawuf, yaitu tasawuf yang diartikan dengan kehendak memperbaiki budi dan men-“shifa’kan (membersikan) bathin. Kita beri keterangan yang modern, meskipun asalnya terdapat dari buku-buku tasawuf juga. Jadi Tasawuf Modern itu kita maksudkan ialah keterangan ilmu tasawuf yang dipermodern.”

Buku Hamka ini berisikan tentang bagaimana seharusnya membangun kehidupan yang bahagia sebagaimana yang diinginkan oleh Islam. Di dalamnya banyak dikutip pikiran dan pendapat-pendapat dari banyak seumber. Baik dari tokoh-tokoh filsafat Timur dan Barat serta tokoh-tokoh tasawuf yang kemudian isinya di bandingkan kembali dengan barometer al Qur’an dan as Sunnah. Di antara buku-buku rujukan yang digunakan Hamka untuk mengetengahkan pemikirannya adalah; Ihyâ’ Ulûmuddîn, Arba’în fî ushûluddîn, Bidâyah, Al Hidâyah, Minhâjul Abidîn, Tahdzîbul Akhlâq, Tafsir Muhammad Abduh, Raddu ‘ala Dahriyîn, Adâbud Dunya wad Dîn, Riyâdushôlihîn, kumpulan majalah ‘Azhar”, beberapa risalah Ibnu Sina dan lain-lain. Semua buku-buku itu dijadikan oleh Hamka sebagai penguat argumentasi yang dibangunnya, dengan terkadang menambahkan beberapa point analisa pribadinya.

III. Pendapat Hamka tentang Arti Tasawuf
Di dalam literatur Hamka, ia tidak menggunakan istilah Tazkiyatun Nafs sebagaimana yang sering dipakai sebagian ulama untuk merujuk kepada model penyucian jiwa di dalam Islam. Akan tetapi, jika dilihat dari misi dan definisi yang disebutkan Hamka melalui istilah tasawuf , maka kita akan menemukan kesamaan maksud. Dalam mendefinisikan istilah tasawuf, Hamka menyebutnya sebagai “ilmu”, artinya Hamka menilai bahwa tasawuf adalah sebuah disiplin ilmu yang telah mapan di dalam kajian Islam. Ungkapan ini senada dengan apa yang di jelaskan oleh P.A Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya “Apa Artinya Islam?” menerangkan bahwa Islam terdiri atas tiga bagian penting yaitu; aqîdah, syarî’ah dan tasawuf.
Dalam bukunya “Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam”, Hamka menjelaskan bahwa tasawuf adalah: “Shifâ’ul Qalbi, artinya membersihkan hati, pembersihan budi pekerti dari perangai-perangai yang tercela, lalu memperhias diri dengan perangai yang terpuji.” Dalam bukunya yang lain seperti Tasauf Modern, Hamka menjelaskan pula bahwa, “Kita tegakkan maksud semula dari tasauf yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi, menekan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi sahwat yang terlebih dari keperluan untuk keperluan diri”. Terdapat juga dalam buku “Tasawuf dari Abad ke Abad”, di mana Hamka menjelaskan definisi tasawuf sebagai, “Orang yang membersihkan jiwa dari pengaruh benda dan alam, supaya dia mudah menuju Tuhan.”
Dari definisi yang dijelaskan Hamka di atas, dapatlah kita melihat kesamaan misi antara Tazkiyatun Nafs dan tasawuf di mana keduanya menginginkan sebuah upaya yang satu yaitu; pembersihan diri atau jiwa seseorang dari perangai buruk dan dosa yang di anggap buruk oleh syari’at Islam. Oleh sebab itulah, paparan di atas sejalan dengan apa yang dijelaskan Hamka ketika menasfyirkan ayat berikut ini:
قَدْاَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْخَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang mensucikan (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”. (QS. Asy Syams: 9-10)

Hamka menjelaskan dalam bukunya “Tafsir Al Azhar” bahwa penyakit yang paling berbahaya bagi jiwa ialah mempersekutukan Allah dengan yang lainnya. Termasuk juga mendustakan kebenaran yang dibawa oleh Rasul, atau memiliki sifat hasud, dengki kepada sesama manusia, benci, dendam, sombong, angkuh dan lain-lain. Maka seseorang yang beriman hendaknya ia mengusahakan pembersihan jiwa dari luar dan dalam, dan janganlah mengotorinya. Sebab menurut Hamka, kekotoran itulah yang justeru akan membuka segala pintu kepada berbagai kejahatan besar.
Menggunakan istilah tasawuf memang menjadi perdebatan dikalangan para ulama dan ahli ilmu. Mereka terbagi menjadi golongan yang menolak sepenuhnya dikarenakan anggapan mereka yaitu dapat mengotori kemurnian Islam. Golongan yang menerimanya beranggapan bahwa ia adalah ilmu yang bersumber dari Islam itu sendiri. Meskipun Hamka menggunakan istilah tasawuf, akan tetapi tasawuf yang dikemukakan Hamka bukanlah tasawuf sebagaimana yang difahami kebanyakan orang. Tasawuf yang dikembangkan Hamka adalah tasawuf yang memiliki basis pada koridor syari’at agama (Tasawwûf Masyrû’). Oleh sebab itulah, di dalam penilaian Hamka, tasawuf tidaklah memiliki sumber lain melainkan bersumberkan murni dari Islam. Dirinya sangat menekankan keharusan setiap individu untuk melakukan pelaksanaan tasawuf agar tercapai budi pekerti yang baik sebagaimana kesepakatan Hamka atas definisi tasawuf yang di uraikan oleh al Junaid yaitu; “Keluar dari budi pekerti yang tercela, dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji.”
Hamka mendasarkan konsep tasawufnya ini pada kerangka agama dibawah pondasi aqîdah yang bersih dari praktek-praktek kesyirikan, dan amalan-amalan lain yang bertenangan dengan syari’at. Sebab bagaimanapun juga Hamka benar-benar menyadari bahwa tasawuf yang telah menjadi ilmu tersendiri ini, pada perjalanannya mendapatkan pencemaran dari pandangan hidup lain, dan tak jarang bagi para pelakunya terjerumus pada praktek-praktek yang tidak di syari’atkan oleh Islam. Hamka mengatakan, “Karena kita tidak dapat memungkiri bahwa ajaran asli itu (tasawuf) di zaman akhir sudah banyak dicampuri, kalau tidak boleh dikatakan dikotori oleh pengaruh yang lain itu.” Dalam bukunya yang lain semisal “Dari Perbendaharaan Lama”, Hamka juga menyebutkan keadaan ilmu tasawuf yang diterima oleh sebagian besar muslim di negeri ini telah mendapat percampuran dengan hikayat, dongeng-dongeng, serta pemahaman dan keyakinan-keyakinan lain terutama dari agama nenek moyangnya yaitu Hindu. Faham Wahabi mencoba untuk memulihkan pemahaman yang terkotori itu dengan munculnya tokoh-tokoh seperti Haji Miskin Pandai Sikat (Agam), H. Abdurahman Piobang, Haji Mohammad Haris Tuanku Lintau dan murid-muridnya Tuanku Nan Renceh Kamang, Tuanku Samik Ampat Angkat, Tuanku Imam Bonjol, Kiyai Haji Ahmad Dahlan, juga Syaikh Ahmad Sorkati dan lain-lain.
Dalam proses menuju makrifat sebagai puncak kebahagiaan para pelaku tasawuf (kedekatan yang intens kepada Allah), di mana tasawuf menjembatani hal itu, maka Hamka menjelaskan bahwa secara umum ilmu tasawuf menawarkan trilogi konsep sebagai pencapaian kearah itu di antaranya; takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli, yaitu sebuah usaha pembebasan diri dari sifat-sifat tercela, sementara tahalli, ia sebagai usaha untuk mengisi dan berhias diri dengan sikap-sikap terpuji dan tajalli merupakan penghayatan rasa ketuhanan atau dalam istilah Hamka, “Kelihatan Allah di dalam hati. Bukan di mata, tapi terasa di hati, bahwa Dia ada.”
Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda dikalangan khalayak ramai tentang tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf modern. Penggunaan istilah tasawuf yang diimbuhi dengan kata “modern”, sebenarnya merupakan suatu terobosan yang rentan kritik. Hal itu mengingat ketokohan Hamka yang lahir dari pergerakan kaum moderenis yang berafiliasi dalam gerakan Muhammadiyah, dimana dalam faham keagamaannya organisasi ini menentang praktek-praktek tasawuf pada umumnya. Oleh karenanya, Muhammad Dammimi dalam bukunya “Tasawuf Positif” mencoba mendudukan kepentingan Hamka dalam mengetengahkan konsep tasawuf modernnya bahwa, istilah “tasawuf modern” merupakan lawan terhadap istilah “tasawuf tradisional.” Di mana tasawuf yang ditawarkan Hamka berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah. Jalan tasawufnya dibangun lewat sikap zuhûd yang dapat dirasakan melalui peribadatan resmi. Penghayatan tasawufnya berupa pengamalan taqwa yang dinamis, bukan keinginan untuk bersatu dengan Tuhan (unitive state), dan refleksi tasawufnya berupa penampakan semakin tingginya semangat dan nilai kepekaan social-religius (sosial keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karâmah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis dan yang sebangsanya.
Keberadaan tasawauf yang fahami oleh Hamka adalah semata-mata hendak menegakkan prilaku dan budi manusia yang sesuai dengan karakter Islam yang seimbang atau menurut bahasa Hamka; “i’tidal”. Untuk itulah, manusia dalam prosesnya mesti mengusahakan benar-benar kearah terbentuknya budi pekerti yang baik, terhindar dari kejahatan dan penyakit jiwa atau penyakit batin. Hamka menegaskan:
“Budi pekerti jahat adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit hati. Penyakit ini lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Orang yang ditimpa penyakit jiwa akan kehilangan makna hidup yang hakiki, hidup yang abadi. Ia lebih berbahaya dari penyakit badan. Dokter mengobati penyakit jasmani menurut syarat-syarat kesehatan. Sakit itu hanya kehilangan hidup yang fana. Oleh sebab itu hendaklah dia utamakan menjaga penyakit yang hendak menimpa jiwa, penyakit yang akan menghilangkan hidup yang kekal itu.”

Hamka menulis, ”Adapun jalan tasawuf ialah merenung ke dalam diri sendiri. Membersihkan diri dan melatihnya dengan berbagai macam latihan (riadhatun nafs), sehingga kian lama kian terbukalah selubung diri dan timbullah cahaya yang gemilang.” Di dalam buku ini Hamka juga menekankan bahwa kehidupan bertasawuf tidaklah seperti yang digambarkan oleh para sufi pada umumnya, hingga melemahan gerak manusia. Hamka kemudian menjelaskan:
”Kehidupan rohani dapat dipegang oleh seseorang walaupun tidak masuk Biara kalau dia Nasrani, atau tidak masuk suluk kalau dia muslim. Kehidupan rohani adalah keinsafan, bahwa alam ini bukanlah semata-mata terdiri dari benda. Pendirian kerohanian ini bukanlah mengakibatkan lemah perjuangan hidup. Atau menyelisih dari jalan masyarakat, lalu melarikan diri ketempat sunyi dan gunung, atau putus asa dan benci kepada kehidupan. Tetapi pendirian kerhohanian, dan pengakuan tulus tentang kuasa Ilahi adalah menimbulkan kesungguh-sungguhan dalam segala pekerjaan yang di hadapi. Menimbulkan semangat yang dinamis dan berapi-api. Menyebabkan timbunya ikhlas dan jujur.”

IV. Analisa Buku Tasawuf Modern
4.1 Sekilas Bentuk Buku
Buku Tasawuf Modern ini dapat dikelompokkan berdasarkan Bab. Sebelum masuk kepada Bab satu dan seterusnya, terdapat di bagian pendahuluan sebuah sub judul yang oleh Hamka ditulis dengan nama “Pengantar Tasawuf”. Bagian ini dituangkan oleh Hamka untuk memberikan gambaran sekilas mengenai pokok-pokok tasawuf yang menjadi pemahaman dan inti da’wah yang dilakukannya selama ini dengan membawa istilah tasawuf tersebut. (halaman 1-8).
Kemudian pada Bab pertama (halaman 8-47), Hamka banyak berbicara tentang pedapat para tokoh-tokoh Barat dan Timur tentang arti bahagia yang mereka pahami dan rasakan, termasuk juga di dalamnya Hamka membandingkan dengan kebahagiaan yang di alami oleh Rasulullah. Tokoh-tokoh yang diangkat Hamka dalam Bab ini adalah; Aristoteles, Hendrik Ibsen, Thomas Hardy, Leo Tolstoy, Bertrand Russel, George Bernard Shaw, Ibnu Khaldun, Abu Bakar Ar Razi, dan Imam al Ghozali. Pada Bab kedua (halaman 48-115), Hamka membuat judul “Bahagia dan Agama.” Di dalam Bab ini Hamka menerangkan tentang kewajiban untuk menjadikan agama sebagai kerangka kehidupan manusia, dan mencari kebenaran serta kebahagiaan melalui kerangka pokoknya yaitu; agama. Sub pembahasan yang tertera dalam Bab ini membicarakan masalah-masalah di antaranya; i’tikad, yakin, perbedaan yakin dan i’tikad, al Iman, iman mutlak, iman kurang dan iman bertambah, iman dan cobaan, arti agama, ‘inyat ilahi, apakah perlunya iman kepada Allah, bahaya mengingkari Tuhan, perlombaan beragama, keterangan i’tikad yang tiga, tiga sifat yang timbul karena beragama, agama dan pengetahuan, terbuka pintu memahamkan agama, Islam dan kemajuan. Sementara pada Bab ketiga (halaman 116-139), Hamka memberi judul pembahasannya dengan judul: “Bahagia dan Utama.” Di dalamnya dibahas beberapa permasalahan berkenaan konsep Islam dalam upaya mengolah (manajemen) diri dari setiap keadaan yang dialami. Di antaranya dikupas tentang; bagaimana memerangi atau mensikapi hawa nafsu, hawa dan akal, ikhlas, ikhlas dan nasihat. Pada Bab ke empat (halaman140-196) ini Hamka berbicara mengenai masalah kesehatan jiwa secara lebih tajam dan kesehatan badan yang menunjang kebutuhan jiwa. Hamka memberinya judul; “Kesehatan Jiwa dan Badan.” Di dalamnya di bicarakan beberapa sub pembahasan di antaranya: urgensi memelihara kesehatan jiwa, mengobati Jiwa, dampak atau akibat sifat-sifat yang ditimbulkan karena sifat tahawwur dan jubun, beberapa sifat yang buruk, penyakit takut, takut mati, peringatan mati, obat duka cita, kepedihan penanggungan bathin, dan hikmat. Pada Bab ke lima (halaman 197-227), dibicarakan oleh Hamka permasalahan harta benda dan aspek-aspek yang terkait dengan kebahagiaan yang disebabkan keberadaan harta benda yang dimiliki manusia. Pada Bab ini Hamka memberinya judul “Harta Benda dan Bahagia.” Di dalamnya dibicarakan beberapa permasalahan di antaranya; kekuasaan harta, harta baik dan buruk, kewajiban terhadap harta, sumber harta, sekedar yang perlu. Sementara itu pada Bab ke enam (halaman 228-241), ke tujuh (halaman 242-255), ke delapan (halaman 256-262), ke sembilan (halaman 263-271), Hamka secara agak lebar berbicara tentang makna qanâ’ah, tawakkul, serta kebahagiaan yang dirasakan oleh Rasulullah, ridha, dan hubungannya dengan keindahan alam. Pada Bab yang ke sepuluh (halaman 272-300), masih membicarakan tentang makna bahagia dengan menukil pendapat para tokoh filsafat seperti Bertrand Russel, Amin Al Raihany, Al Anisah Mai. Dan semua pembicaraan ini ditutup pada Bab ke sebelas (halaman 301-313) dengan pembahasan mengenai “celaka”, sebagai sebuah lawan dari bahagia.

4.2 Analisa Isi Buku
4.2.1 Landasan Akidah dan Iman.
Menurut Hamka Islam merupakan jalan kebahagiaan yang hakiki. Meski banyak rumusan-rumusan tentang kebahagiaan datang, namun Islamlah satu-satunya jalan itu !. Agama yang akan dijadikan sandaran dan kerangka hidup bukanlah agama Islam yang saat ini dipahami telah terpecah belah menjadi memiliki sekte-sektenya masing-masing, dan dengan praktik ibadah yang mereka buat serta mereka yakini masing-masing untuk diamalkan, sehingga sesungguhnya mereka sendiri telah jauh dari sumber utama (al Qur’an dan As Sunnah). Oleh karenanya Hamka menginginkan agar agama Islam yang menjadi kerangka dalam hidup itu adalah agama Islam yang murni, dan terbebas dari praktek syirik, bid’ah dan khurafât.
Dalam membangun hidup bertasawuf, Hamka melandasinya dengan kekuatan Aqidah. Sebab dengan kekuatan inilah, perjalanan tasawuf akan terhindar dari bentuk-bentuk kemusyrikan yang sering kali terjadi pada seorang sufi. Dalam penjelasannya, Hamka mengkritik keberadaan para wali-wali yang dijadikan wasilah untuk meminta kepada Allah seperti wali al Utad (jumlahnya 12 orang), wali qathab (jumlahnya 9 orang), dan puncaknya wali yaitu Al Chaus. Hamka mengatakan:
”Ampun, tasawuf yang seperti ini tidaklah dapat saya campuri. Agama saya adalah Islam, yaitu menyerah bulat kepada Ilahi tanpa dengan perantaraan. Langsung, tidak dengan pengantar… mengapa kita sendiri yang membuat jalan berbelok-belok, padahal jalannya seterang itu ?. Qur’an dia tinggakan dan sunnahpun terbentang. Tidak ada yang tersembunyi lagi… tasawuf kita adalah hasil belaka dari pada tauhid. Kita mengadakan mujâhadah, murâqabah, riyâdhah, adalah buat mendekati Tuhan, bukan untuk mendekati orang lain. Tasawuf kita adalah akibat dari tauhid.”

Hamka menyadari, bahwa perjuangan da’wah di Indonesia ini telah mengalami hambatan, atau dalam bahasa Hamka “macet” dengan sebab utamanya yaitu pengaruh ajaran tasawuf yang telah bertukar dari tauhid beralih ke faham ittihâd atau wihdatul wujûd. Oleh karenanya, berakidah yang benar juga harus dilandaskan pada keimanan yang benar pula, sebab sebagaimana yang dinukil dari perkataan Ibnu Taimiyah bahwa, iman adalah sebaik-baik nikmat, yang dengannya kita mesti pergunakan dengan sebaik-baiknya. Keimanan yang benar itulah yang nantinya menurut Hamka akan menimbulkan kekuatan untuk melakukan kebaikan. Hamka menjelaskan:
“Dengan iman hidup menjadi memiliki maksud dan tujuan, sehingga timbullah cita-cita untuk menggapainya. Iman menimbulkan cita-cita untuk memperoleh ganjaran dan pahala di atas pekerjaan yang dikerjakan. Oleh karenanya, bila seseorang tidak beriman maka ia membawa kepada tegaknya hidup yang tidak bersendi, membawa keberanian yang merusak dan sewenang-wenang kepada sesama manusia.”

Dalam pengertian al îman, Hamka mengartikannya dengan makna; percaya. Percaya ini dibangun atas amalan yang termasuk ke dalam amalan lahiriah dan batiniah. Oleh karena itu, di dalam nasehat Hamka yang tercantum dalam buku Tasawuf Modern, hendaknya keimanan yang telah tumbuh di dalam hati itu dipupuk supaya ia bertambah dan subur selalu. Jangan sampai ia (iman) dibiarkan begitu saja, karena bisa jadi iman tersebut akan mengalami kelemahan dan tumbang. Hamka menganalogikan keadaan ini dalam ilustrasinya, “Tumbuh rumput disekelilingnya, rumput yang menyemakkan, atau dikalahkan limau oleh benalu.”

4.2.2 Konsep – konsep Penting dalam Tasawuf Hamka
4.2.2.1 Konsep Hawa Nafsu
Al Qur’an menyebutkan kata hawâ dalam berbagai bentuk mencapai jumlah 36 kali, yang sebagian besarnya mengarah kepada perbuatan negatif. Beberapa contoh di antaranya adalah;
1. Perbuatan orang zalim yang mengikuti hawa nafsunya (QS. Ar Rum: 29).
2. Perbuatan orang sesat mengikuti hawa nafsu (QS. Al Ma’idah: 77).
3. Perbuatan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Tuhan (QS. Al ‘An’am: 150).
4. Perbuatan orang yang tidak berilmu (QS. Al Jatsiyah: 18).
Sementara itu, Hamka memberi arti etimologis dengan; angin atau gelora yang tidak berasal. Dengan demikian, hawa yang sering bergabung dengan kata nafsu, memang memiliki kecenderungan yang negatif. Al Raghib al Isfahani mengartikan hawâ sebagai kecenderungan nafsu kepada syahwat. Dan menurutnya, kata hawâ dalam bahasa al Qur’an sering bermakna turun, dari atas ke bawah dan berkonotasai negatif. Menurutnya lagi, penyebutan kata hawâ menyebutkan pemiliknya akan jatuh ke dalam keruetan hidup ketika menjalani dunianya, dan di akhirat ia akan dimasukkan ke dalam neraka hâwiyah. Sementara menurut Al Maraghi, kata hawâ diartikan sebagai kejatuhan nafs ke dalam hal-hal yang dilarang Tuhan.
Komponen dalam diri manusia yang dapat dijadikan sebagai lawan tanding dari pada hawâ adalah akal , demikian menurut Hamka. Menurutnya pula ahwa (hawâ) membawa sesat dan tidak berpedoman, sementara akal menjadi pedoman menuju keutamaan. Dalam sebuah nasihatnya, Hamka mengatakan; “Hawa berakibat bahaya, tetapi jalannya amat mudah oleh hati. Tidak sukar. Sebab itu, jika kita menghadapai dua perkara, hendaklah dipilih barang yang sukar mengerjakannya tetapi akibatnya baik. Jangan barang yang diingini hawa nafsu, karena akibatnya buruk. Kebanyakan barang yang baik itu susah dikerjakan.” Rasulullah bersabda;
حُفَتِ الجَنَّةُ بِالمَكَارِهِ وَحُفَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Diramaikan syurga dengan sesuatu yang berat mengerjakannya, dan di ramaikan neraka dengan syahwat.” (HR. Muslim)

Posisi akal yang dimaksud oleh Hamka adalah sebagai tampat untuk menimbang-nimbang kebaikan dan keburukan. Akallah yang memikirkan dan mencari jawaban-jawaban dalam sumber-sumber yang benar. Hamka mengatakan, “Hawa menyuruh melamun, berangan-angan tetapi akal menyuruh menimbang.” . Demikian halnya Hamka berpendapat bahwa al Qur’an semenjak diturunkannya kepada manusia, sudah mulai mengajak kita berargumentasi dengan akal yang bersih dalam menghadapi fenomena-fenomena hidup. Sebagaimana Hamka menjelaskan; “Takkala kitab suci al Qur’an mengajak manusia kepada Islam, dan mengikut suruhnya serta menghentikan larangnnya, dimasuk lebih dulu melalui pintu akal. Kalau terdapat bantahan dan keengkaran, disuruh terlebih dahulu mereka itu berfikir, mempergunakan akalnya yang suci bersih. Perkataan-perkataan yang penting (di dalam al Qur’an) ditutup dengan penghargaan akal. ”
Oleh karena itulah, Hamka kemudian berpendapat bahwa kata hawâ tidak semuanya berkonotasi negatif. Ada hawa yang terpuji dan ada juga hawa yang tercela. Yang terpuji ialah pemberian Allah yang dianugerahkan kepada manusia, supaya ia dapat membangkitkan kehendak mempertahankan diri dan hidup menangkis bahaya yang akan menimpa, berikhtiar mencari makan dan minum serta kediaman. Hawalah yang mendorongnya. Demikian ungkap Hamka. Kepentingan menahan hawa nafsu adalah untuk mewujudkan manusia yang berbudi luhur. Dalam rangka menyikapi hawa nafsu tersebut, Hamka dalam bukunya “Akhaqul Karimah” kembali menekankan tentang pentingnya mujahâdah atau riyâdhah diri, yaitu membiasakan akhlaq dan budi baik agar nantinya dapat menggeser keburukan budi yang sebelumnya ada dalam hati serta menjadi penyakit bagi jiwa.

4.2.2.2 Konsep Ikhlas
Memaknakan tentang ikhlas, Hamka memulai dengan defnisi ikhlas itu sendiri. Ikhlas menurut Hamka dari segi arti bahasa adalah; bersih, tidak ada campuran, ibarat emas tulen, tidak ada campuran perak berapa persenpun. Dan pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu dinamakan al ikhlâs. Misalnya, seseorang yang mengerjakan sesuatu perkerjaan semata-mata kerena mengharap puji dari majikan, maka ikhlas amalannya itu karena majikan dan untuk majikan tersebut. Atau seseorang yang memburu harta dari pagi hingga sore dengan tidak bosan-bosan karena semata-mata memikirkan perut, maka ikhlasnya itu ditujukan kepada perutnya. Demikian permisalan yang Hamka terangkan. Demikian halnya dengan Sa’id Hawwa, ia juga menjelaskan jika sesuatu itu bersih dan terhindar dari kotoran, maka itu dinamakan khôlis (yang bersih). Sementara pekerjaan membersihkannya disebut al ikhlâs. Sa’id Hawwa mengartikan orang yang ikhlas adalah mereka yang tidak ada motivasi yang membangkitkannya kecuali motivasi bertaqarrub kepada Allah saja.
Sementara itu, lawan dari pada ikhlas adalah isyrâk yang artinya berserikat atau bercampur dengan yang lain. Keduanya, antara ikhlas dan syririk ini menurut Hamka tidaklah dapat disatukan., sebagaimana tidak dapat dipertemukannya antara gerak dan diam. Hamka menjelaskan bahwa keikhlasan tidak dapat tegak tanpa adanya shiddîq (sifat benar). Demikian itu dikarenakan kebenaran dalam diri seseorang menjauhkan dirinya dari keadaan hipokrit (munafik). Dengan ini Hamka menjelaskan pendiriannya bahwa, “Ikhlas tidak dapat dipisahkan dengan shiddîq (benar). Orang yang mulutnya mengaku benar, tetapi hatinya berdusta, masuk jugalah dia ke dalam golongan pendusta.” Hamka mengarahkan usaha keikhlasan kepada empat hal. Berdasarkan kepada hadits Rasulullah dari sahabat Ad Dari di mana Rasulullah salallâhu ‘alaihi wasallam bersabda;
الدِّينُ النَّصِيحَةُ.قُلنَا: لِمَن ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّتِهِ المُسلِمِينَ وَعَامَّتِهِم.
“Agama itu nasihat.” Kemudian kami (para sahabat) berkata; “kepada siapakah nasihat itu ?.” Rasulullah menjawab; “kepada Allah, kepada kitabNya, kepada rasulNya, kepada kepala-kepala kaum muslimin dan bagi kaum muslimin semuanya.” (HR. Ad Darimi)
Yang dimaksud dengan kata nasîhah dalam hadits ini merujuk pada pengertian ikhlas. Sebagaimana Hamka menyetujui arti ikhlas dengan persamaan kata nasuha yang diungkapkan oleh kamus “Misbâhul Munîr”, di mana di situ pengarang menyamakan arti nasihat dengan empat perkara; ikhlas, tulus, musyawarat dan amal. Keikhlasan adalah kekuatan untuk berbuat, ketangguhan untuk menghadapi cobaan yang diberikan Allah, dan kesanggupan untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana Bustami Ibrahim, salah seorang rekan Hamka dalam bukunya Budi dan Kehidupan Diri dan Masyarakat menyebutkan ikhlas sebagai nyawa segala kerja. Kerja yang betapapun juga besarnya menurutnya, bila mana tidak disertai dengan keikhalasan, umumnya usaha itu bisa diibaratkan seperti kayu besar yang dimakan bubuk.
4.2.2.3 Konsep Khauf
Menurut Hamka, Khauf merupakan rasa takut yang timbul karena adanya azab, siksa dan kemurkaan dari Allah. Oleh sebab itu diri seseorang mesti meneliti keadaannya dengan cara bermuhâsabah dan bermurâqabah, kemudian memberikan perhatian kepadanya sehingga terlihat mana aib dan cacat diri, serta kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki. .
Mengenai perintah untuk memiliki rasa takut, Allah berfirman di dalam al Qur’an;
وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُؤمِنِينَ
“Maka takutlah kamu kepada-Ku jika kamu orang-orang yang beriman” (QS.Ali Imran: 175)
Melalui firman Allah ini Hamka memberikan penjelasan tentang ketegasannya untuk senantiasa meletakkan posisi rasa takut yang ada pada diri manusia hanya kepada Allah semata. Betapapun banyaknya musuh yang dihadapi seseorang, tidak perlu sangsi menghadapinya, sebab yang diperjuangkan oleh seorang muslim di dalam seluruh hidupnya tidak lain hanyalah kebenaran yang datang dari Allah. Lantaran itu tidak ada kegentaran menghadapi maut. Karena hidup itu sendiri tidak ada artinya kalau tidak ada keberanian menghadapi segala macam kemungkinan di dalam mempertahankan pendirian.
Tentang sifat takut yang berkonotasi negatif Hamka sebutkan sebagai sesuatu yang lahir dari sifat jubun (kemarahan yang telah dingin membeku). Yaitu rasa takut karena menyangka, adanya bahaya atau perkara yang tidak diinginkan. Ia membayangkan terjadinya sesuatu yang belum pasti terjadi baik perkara besar maupun kecil. Menurut Hamka, rasa takut seperti ini akan menghilangkan rasa kebahagiaan, sebab hidup yang bahagia adalah hidup yang mempunyai persangkaan dan pengharapan yang baik, cita-cita yang kuat, angan-angan yang teguh, dan jangan terlalu banyak memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Sebagai contoh, Hamka menyebutkan keberadaan seseorang yang enggan berniaga karena takut rugi, enggan menyewa toko besar takut tidak terbayar sewanya, enggan beristri takut tidak terbelanjai nafkahnya. Oleh karenanya dalam bukunya yang lain Hamka menasehatkan; “Jangan takut menghadapi suatu kegagalan karena dengan kegagalan itu kita juga akan dapat memperoleh pengetahuan tentang segi-segi kelemahan, atau kekuatan diri kita yang akan ditakuti ialah gagal dua kali dalam satu hal yang serupa.” Juga pada alinia lain Hamka bernasihat: “Jangan takut jatuh, karena tidak pernah memanjatlah yang tidak pernah jatuh. Jangan takut gagal, karena yang tidak pernah gagal hanyalah orang yang tidak pernah mencoba berusaha. Jangan takut salah, karena dengan kesalahan yang pertama kita dapat menambah pengetahuan untuk mencari jalan yang benar pada langkah yang kedua.”
Di samping rasa takut yang banyak jumlahnya itu, Hamka secara lebih khusus menyoroti sikap takut terhadap sesuatu yang disebut “kematian.” Dalam bukunya Tasawuf Modern, Hamka memberikan porsi sangat banyak untuk membicarakan masalah ini panjang lebar. Menurut Hamka, seseorang takut mati dikarenakan enam hal; (1) tidak tahu hakikat mati, (2) tidak insaf kemana kita pergi sesudah mati, (3) takut kena siksa, (4) tidak tahu kemana diri sesudah mati, (5) takut sedih akan meninggalkan harta, (6) takut sedih karena meninggalkan anak. Oleh sebab itulah, persaan takut seperti ini harus dilawan dengan pemahaman yang benar terhadap hakikat kematian secara menyeluruh. Artinya, seseorang mesti memiliki ilmu yang benar mengenai proses kematian dan akhir dari perjalanannya. Hamka sendiri menegaskan bahwa rasa takut terhadap kematian yang bersifat negatif ini di sebabkan oleh kebodohan.
Sebenarnya, takut akan kematian akan membawa dampak positif bila kemudian disikapi dengan baik pula. Rasa takut akan kematian akan menimbulkan tindakan positif berupa persiapan diri untuk menghadapinya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Qhurtibi dalam kitabnya “At Tadzkirah fî Ahwâlil Mauta wa Umûril âkhirah.” Ia mengutip pendapat Ad Daqôq yang mengatkan bahwa; “Barang siapa memperbanyak mengingat kematian, maka ia akan dikaruniai tiga keutamaan. Pertama, dimudahkan dirinya untuk bertaubat, kedua, diberikan sikap qanâ’ah pada hati, dan ketiga, mampu untuk rajin dalam beribadah.
Hamka menambahkan tentang keadaan manusia dalam mengingat mati ada tiga golongan; (1) tidak mengingatnya sama sekali, (2) mengingatnya dengan kegentaran dan ketakutan, (3) mengingatnya dengan akal budi dan hikmah. Adapun kelompok yang terakhir inilah, yang sanggup mengambil hikmah dari potensi rasa khauf yang ada dalam dirinya.

4.2.2.4 Konsep Zuhud
Di dalam bukunya Tasawuf Modern Hamka tidak membicarakan tentang istilah zuhûd dalam bab khusus. Akan tetapi bila kita meneliti keseluruhan isi dari buku tersebut, akan didapatkan gambaran yang cukup mengenai sikapnya tentang zuhûd ini. Ilahi Dhahir menyebutkan istlilah radikalisme untuk para sufi dalam hal ta’abudiyah sebagai kebutuhan dan ciri para penganut faham tasawuf. Adapaun radikalisme yang dimaksud adalah sikap hidup zuhûd dalam menghadapi dunia dan kehiduapan. Mensikapi dunia ini beserta isinya, maka Hamka sebagai sosok yang mendukung terhadap tasawuf (menurut versinya) menjelaskan konsep tentang zuhûd dengan sikap moderat. Sebagai starting point dalam bukunya Pandangan Hidup, Hamka menerangkan bahwa, “Kita perlu benda dan kita perlu rohaniyat. Kita perlu kaya karena hendak membayar zakat kepada fakir dan miskin. Kita perlu meratakan jalan di permukaan bumi, untuk mengikat tangga kelangit. Kita akan dipukul oleh kesengsaraan jika kita tidak pegang dua tali; tali Allah dan tali insaniyah.” Berawal dari ungkapannya ini, kita dapat melihat betapa Hamka bukanlah sosok yang acuh terhadap kebendaan duniawi. Ia kembali menegaskan bahwa ada terjadi anggapan yang salah bahwa agama adalah penyebab segala kemunduran dan kemalasan kerena hanya mengingat keberadaan akhirat saja. Dalam hal ini Hamka menjelaskan; “Ada salah sangka terhadap agama akibat ketidakfahaman. Agama dituduh bahwa dia memundurkan hati, gerak agama membawa manusia malas, sebab ia senantiasa mengajak umatnya membenci dunia, terima saja apa yang ada, terima saja takdir, jangan berikhtiar melepaskan diri, bangsa yang zuhud demikian terlempar kepada kemiskinan katanya !.”
Menurut Hamka, kondisi zuhûd pada seorang hamba itu muncul atas manifestasi dari keimanan. Sehingga pengertian zuhûd yang benar menurutnya adalah; tidak perhatian kepada yang lain kecuali kepada Allah. Selain dari Allah tidak ada yang terkenang di dalam hati. Sebab itu orang yang zuhud merasai; lâ yamliku syai’an wa lâ yamlikuhû sya’un (tidak mempunyai apa-apa dan tidak dipunyai oleh apa-apa). Dalam hal ini sebenarnya Hamka ingin mengingatkan agar manusia tidak terjebak seperti yang digambarkan dalam al Qur’an surah at Takâtsur (ayat 1-2). Allah berfirman;
اَلهْاَكُمُ التَّكَاثُر حَتَّى زُرْتُمُ المْقَاَبِرَ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. Al Kautsar: 1-2)

Hamka menjelaskan isi makna ayat ini dengan, “Kamu terlalai, terlengah dan kamu terpaling dari tujuan yang sejati. Kamu tidak lagi perhatikan kesucian jiwa, kecerdasan akal, memikirkan hari depan. Telah lengah kamu dari memperhatikan hidupmu yang akan mati dan kamu telah lupa perhubungan dengan Tuhan Pencipta seluruh alam, Pencipta dirimu sendiri.” Perhatian akan keberadaan akhirat ini bukan berarti Hamka hendak memutuskan hubungan terhadap dunia, bahkan ia menginginkan dari perilaku zuhûd ialah mereka yang sudi miskin, sudi kaya, sudi tidak beruang sepeserpun, dan sudi jadi milyuner, namun harta itu tidak menyebabkan lupa terhadap Tuhan dan kewajibannya.
Pendapat Hamka mengenai harta kekayaan ada dua bentuk. Pertama kekayaan yang hakiki dan kedua, kekayaan yang majasi. Menurutnya, kekayaan yang hakiki adalah:
“Mencukupkan apa yang ada, sudi menerima walaupun berlipat ganda beratus milyun, sebab ia nikmat Tuhan. Dan tidak pula kecewa jika jumlahnya berkurang, sebab dia datang dari sana akan kembali kesana. Jika kekayaan melimpah kepada diri walau bagaimana banyaknya kita teringat bahwa gunanya ialah untuk menyokong amal dan ibadat, iman, dan untuk membina keteguhan hati menyembah Tuhan. Harta tidak dicintai karena ia harta. Harta hanya dicintai sebab ia adalah pemberian Tuhan. Dipergunakannya kepada hal yang berfaedah.”
Dengan demikian, menurut Hamka bukanlah kepemilikan harta yang sedikit yang membuat seseorang menjadi merasa susah, serta bukannya banyaknya harta yang menjadi seseorang merasa gembira. Adapun pokok yang sebenarnya adalah jiwa yang tenang dan damai. Harta inilah yang sekarang telah menyebabkan tertutupnya hati dari cahaya kebenaran. Dia telah menghambat langkah menuju gerbang kesucian, hingga orang tak ada lagi yang mencari haq (benar), mencari kebenaran, tetapi mencari harta.
Oleh karenanya menurut Hamka, seorang yang zahîd (pelaku zuhûd) bukannya menolak harta benda dan kekayaan serta isi dunia yang dapat menjadikan ia memudahkan melakukan amal perbuatan. Disinlah keterangan Hamka tepat sekali bahwa. “Dari itulah tidak dinamakan seorang zahid (orang yang zuhûd) lantaran tidak berharta. Siapa juapun sanggup menjadi orang zuhud, menjadi sufi, bukan dihalangi oleh kekayaan harta. Orang yang zahid, adalah orang yang tidak dipengaruhi harta, walaupun seluas isi dunia ini dia yang punya”. Hamka menganalogikan kehidupan kita di dunia ibarat seorang pawang lebah. Pawang yang pintar dapat saja mengambil lebah yang banyak tetapi tidak perlu sampai tersengat lebahnya. Allah sendiri menganjurkan untuk memperhatikan dua kehidupan, dunia dan akhirat. Allah berfirman:

وَابتَغِ فِيمَاءَاتَكَ الله ُ الدَّارَ الا َخِرَةَ وَلاَتَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنيَا وَأَحسِن كَمَا أَحسَنَ الله ُ إِلَيكَ وَلاَتَبغِ الفَسَادَفِى الا َرضِ إِنَّالله َلاَيُحِبُّ المُفسِدِين
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janaganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi. Sungguh Allah tida menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qassas: 77)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa zuhûd yang disyari’atkan Islam adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat di Akhirat. Sementara meninggalkan sesuatu yang memudahkan manusia untuk beribadah kepada Allah bukanlah termasuk zuhûd yang disyari’atkan.”

4.2.2.5 Konsep Tawakkal
Sebagian dari para sufi yang tergelincir pemahamannya telah menyamakan keberadaan zat antara mahluk dan khalik. Demikian sebagaimana tertera dalam penjelasan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Iqtidhâ’ussirôtol Mustaqîm Mukholafati Ashâbil Jahîm.” Bagi mereka, di antara keduanya terdapat esensi yang sama yang tidak dapat diceraiberaikan bila dengan ketajaman hatinya seseorang itu telah mencapai makrifat kepada al haq (Allah). Oleh karena itulah, para sufi jenis ini melakukan sikap bergantung kepada apa yang disebut dengan takdir dengan jalan yang salah. Mereka enggan berkerja dan enggan berusaha karena pada diri mereka sendirilah hakikat dari sebab-musabab itu.
Fenomena seperti ini jelas bertentangan dengan Islam. Untuk itulah Hamka menjelaskan bagaimana cara bergantung yang benar meurut apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Menurut pandangan Hamka, tawakkul merupakan satu sifat yang telah tersimpul dalam diri orang-orang yang telah memiliki sifat qanâ’ah. Hamka kemudian mengartikan tawakkul dengan arti penyerahan keputusan setiap sesuatu perkara atau urusan hajat hidup manusia, berupa ikhtiar dan usahanya hanya kepada Allah pemilik sekalian alam. Artinya, rasa ketergantungan manusia kepada Allah itu berlaku atas setiap perkara yang kita turut memiliki usaha di dalamnya. Hal ini terkait dengan apa yang disampaikan oleh Syaik Abu Bakar Al Jazairi dalam kitabnya “Minhâjul Muslîm.” Di mana ia menjelaskan bahwa makna tawakkul tidak hanya harus difahami oleh setiap orang beriman dengan penyerahan tanpa usaha saja, atau berlepas tangan terhadap sesuatu yang akan terjadi. Namun hal ini sangat terkait dengan pemahaman yang benar terhadap takdir Allah.
Pemahaman terhadap takdir memiliki kedudukan penting dalam diri manusia. Untuk Itulah, didalam uraiannya, Hamka menjelaskan:
“Bilamana didikan takdir, kepercayaan bahwsanya buruk dan baik, sakit dan senang, hina dan mulia, naik dan jatuh dan sebagainya, telah masuk sebaik-baiknya ke dalam jiwa kita, sebagai patri sejati dari seluruh kepercayaan, yaitu Tauhid ke Esaan Tuhan itulah yang memberi nilai hidup. Sebab Dia yang memberi imbangan bagi jiwa kita, sehingga tidak sombong tersebab naik, tidak lemah semangat diseketika turun, dan tidak putus hubungan dengan Ilahi.”
Berdasarkan penjelasan yang terdapat pada Tafsir Al Azhar, Hamka memandang bahwa iman, Islam dan tawakkul merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, di mana muncul satu tumbuh yang lain. Iman adalah kepercayaan hati sementara Islam adalah perbuatan. Dan kalau iman serta Islam telah ada, secara otomatis ia akan bertawakkul kepada Allah. Hamka juga menambahkan bahwa; “Dengan begitu, tawakal bukan berarti berdiam diri saja menunggu nasib, dengan tidak melakukan ikhtiar. Tawakal menyebabkan jiwa jadi kuat. Dan kalau jiwa telah kuat, akal dan pikiranpun terbuka untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan.”
Oleh sebab itulah, Hamka memberikan kejelasan tentang makna tawakkul sebagaimana yang dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah. Ia menyebutkan kisah perjalanan Hijrahnya Rasulullah bersama Abu Bakar atas perintah Allah ke negeri Madinah. Di dalam perjalanannya Rasulullah berusaha sekuat tenaga dan dengan daya serta cara untuk lepas dari kejaran orang-orang kafir hingga ke bukit Tsur. Hal ini menunjukkan bahwa manusia setinggi derajatnya seperti Rasulullah saja masih membutuhkan ikhtiar dan usaha. Lantas bagaimana dengan sikap umatnya. Ibnul Jauzy dalam kitabnya “Talbîsu Iblîs” juga memberikan penjelasan bahwa prinsip tawakkul ini telah lama dibangun oleh para nabi dan rasul terdahulu. Pertama, tawakkul merupakan pekerjaan hati. Kedua, ia tidak sama sekali menafikan amal perbuatan. Jika dikatakan berusaha itu bukan termasuk bertawakkul maka para anbiyâ bukanlah golongan yang demikian. Nabi Nuh as dan Nabi Zakaria as adalah pedagang, nabi Idris as adalah penjahit, Nabi Ibrahim as dan Nabi Lut as adalah petani, nabi Musa as dan Syu’aib as adalah pedagang.
Melalui pelajaran dari sirah nabawi ini pulalah Hamka menegaskan dalam tulisannya, “Kita tidak boleh langsung lari kepada takdir kalau ikhtiar belum sempurna. Memang diakui bahwa kunci pintu tak dapat menolak kadar, kunci kandang tak dapat menangkis kepada nasib, melainkan dengan izin Allah jua. Tetapi tidaklah boleh kita lantaran terus saja lari kepada takdir kalu ikhtiar belum sempurna.” Dengan ini jelaslah bahwa prinsip tawakkul yang dibangun Hamka melalui bukunya Tasawuf Modern ini bukanlah tawakkul yang fatalistik (qadariyah). Hamka tidak mengenyampingkan peran ikhtiar atau usaha yang sejenisnya. Akan tetapi ia juga menekankan bahwa ikhtiar juga bukan segala-galanya. Tanpa seizin Allah, tidak ada ikhtiar yang sanggup mencapai kesuksesan. Artinya, Hamka membangun pengertian tawakkul melalui prinsip ketauhidan yang sempurna. Hal itu ia katakan dalam penjelasan yang lain; “Tawakal tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi ia adalah buah dari tauhid yang telah mendarah daging dalam jiwa seorang muslim. Sikap tawakkul tidaklah didapat oleh seseorang dengan tiba-tiba, tetapi dia adalah hasil ketauhidan yang telah dipupuk bertahun-tahun lamanya.”
Dalam pandangan Hamka pula, do’a merupakan sebab dari usaha manusia dan hal itu merupakan ikhtiar itu sendiri. Untuk itulah peran do’a menjadi penting, selain hal itu telah diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh RasulNya, di sisi lain do’a memberikan istifadah berupa kekautan dalam diri untuk hidup. Hamka menjelaskan dalam bukunya Do’a-do’a Rasulullah, “Dan do’a bukanlah alamat dari kelemahan, melainkan menimbulkan kekuatan. Yaitu mepositifkan atau menunjukkan jiwa semata-mata kepada Allah, bebas dari pengaruh atau mencari perlindungan kepada sesama mahluk karena dengan berdo’a kita selalu merasa diri dekat kepada Allah.”

V. Kesimpulan
Melalui uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan dalam kajian ini beberapa hal diantaranya;
1. Hamka memahami tasawuf dengan pemahaman yang lebih tepat dengan ruh dan semangat ajaran Islam. Ia tidak memahami tasawuf sebagaimana gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya.
2. Tasawuf model Hamka ini menandingi tasawuf tradisional yang cenderung membawa bibit-bibit kebid’ahan, khurafat, dan kesyirikan. Sementara Hamka adalah ulama modernis (Mujaddid) yang bagitu anti dengan hal-hal tersbut. Dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian.
3. Konsep-konsep tasawuf yang di terangkan Hamka sangat dinamis dengan kehidupan modern yang tidak dapat di tinggalkan begitu saja. Baginya, hidup diera modern tidak menjauhkan seseorang kepada Allah.

———Wallâhu A’lam bi As Shawab——–

DAFTAR PUSTAKA

1) Abdul Fattah Sayyid Ahmad, At Thasawûf baina Al Ghazali wa Ibnu Taimiyah, Terj. Muhammad Muchson Anasy, Jakarta: Khalifa, 2005
2) Abi Abdillah Muhammad bin Muflih al Maqdisi, Adâbus Sar’iyyah, Beirut: Ar Risalah, 1996
3) Abil Hasan Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi an Naisabury, Sahîh Muslim, Riyadh: Dâr As Salâm, 1998
4) Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin Al Fadl bin Bahram ad Darimy, Sunan Ad Darimy, Beirut: Dâr Al Fikr, 1978
5) Ahmad Mubarok, Jiwa Dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000
6) Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsîr Al Maraghi, Beirut: Dâr Al Fikri, tt
7) Al Raghib al Isfahani, Mu’jam Mufradât Alfâdzh al Qur’ân, Beirut: Dâr Al Fikri, tt
8) Anis Ahmad Karzun, Manhajul Islamî fî Tazkiyatin Nafs, Beirut: Dâr An Nurul Maktabah, 1997
9) Badruzzaman Busyairi, Setengah Abad Al Azhar, Jakarta: PT ABADI, 2002
10) Barwari Umairi, Sistematika Tasawuf, Solo: Al Siti Syamsiyyah, 1961
11) Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943) Pembaharuan dan Pemurni Islam di Indonesia, Jakarta: Al Kautsar, 1999
12) Bustami Ibrahim, Budi dan Kehidupan Diri dan Masyarakat, Medan: Pustaka Indonesia, 1960
13) Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam, Bandung, Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1983
14) Flori Berta Aning, 100 Tokoh yang Menggubah Indonesia, Yogyakarta: Penrebit Narasi, 2007
15) Hamka, Akhlaqul Karimah, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992, hal. 11.
16) Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
17) Hamka, Ayahku, Jakarta: Uminnda, 2000, hal. 27-42.
18) Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Medan: Firma Maju, 1963
19) Hamka, Do’a-do’a Rasulullah, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973, Cet. IV, Jilid I, hal. 7.
20) Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002, Cet. XIII, hal. 50.
21) Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
22) Hamka, Lembaga Budi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001.
23) Hamka, Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1961
24) Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Da’wah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990
25) Hamka, Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995
26) Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984
27) Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991
28) Hamka, Tasawuf Pemurnian dan Perkembangannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993
29) Hamka, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
30) Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006
31) Ibnu Taimiyah, Iqtidhâ’ussirôtol Mustaqîm Mukholafati Ashâbil Jahîm, Beirut: Dâr Jîl, 1993
32) Ihsan Ilahi Dhahir, Dirâsat fî Tasawwuf, Terj. Fadli Bahri, Jakarta: Darul Haq, 2002
33) Jamaluddin Abil Farj Abdurrahman bin Al Jauzy Al Baghdadi, Talbîsu Iblîs, Beirut: Maktabah At Tsaqôfah Ad Dîniyah, tt
34) Jeje Zaenudin, Memilah Hak dan Bathil, Jakarta: At Tajdid Press, 2005
35) M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsyir Al Azhar, Jakarta: Permadani, 2003
36) Muhammad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, Bulan Bintang, Jakarta: 1983
37) Muhammad Zaki Ibrahim, Abjâdiyah at Tashawuf al Islamî, Terj. Yazid Muttaqin, Solo: Tiga Serangkai, 2004
38) Nona Abaza, Islamic Education Perceptions and Exchanges, Indonesian Studens in Cairo, Terj. S. Harlinah, Jakarta: LP3ES, 1999
39) Rachmat Taufiq, et.al.,, Almanak Alam Islami, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2000
40) Ramlan Marjoned, KH. Hasan Bashri 70 Tahun: Fungsi Ulama dan Peran Masjid, Jakarta: Media Da’wah, 1990
41) Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Pustaka Panjimas, Jakarta: 1981
42) Sai’d Hawwa, Al Mustakhlâs fi Tazkiyatin Nafs, Terj. Aunur Rafiq Sholeh Tamhid, Jakarta: Robbani Press, 2005
43) Salahudin Hamid, Seratus Tokoh Islam Indonesia, Jakarta: Intermedia, 2003
44) Siti Fatimah Yasin, “Tasawuf Modern”, Tesis, Jakarta: perpustakaan UIN, 1992
45) Sulaiman Al Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, Semarang: Pustaka Nuun, 2004
46) Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq, Al Fikrus Sûfi, Terj. Ahmad Misbach, Jakarta: Rabbani Press, 2001
47) Syaikh Abu Bakar Al Jazairi, Minhâjul Muslîm, Terj. Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2005
48) Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Ashûfiyyah fî Mizânil Kitâb wa Sunnah, Terj. Taqdir Muhammad Arsyad, Yogyakarta: Media Hidayah: 2004
49) Syaikh Muhammad Mahmud Al Hijazi, Tafsîrul Wâdih, Beirut: Dârul Jîl, 1992
50) Syaikh Safiyyur Rahman Al Mubarak Fury, Ar Rahîkul Makhtûm, Terj. Hanif Yahya, Jakarta: Pustraka Al kautsar, 2000
51) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmû’ al Fatâwâ, Ttp.. Majlis a Islamî Al Asiwwai; Lajnah ad ad’awah wa at Ta’lîm, 1997
52) Syamsuddin Abi Abdillah Muhamamd bin Ahmad bin Bakr bin Farah Al Anshori Al Qurthibi, At Tadzkirah fî Ahwâlil Mauta wa Umûril Âkhirah, Beirut: Dâr Jîl, 1993
53) Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad Ibnu Abdil Halim bin Abdissalam bin Taimiyah, Al Fatâwâ al Kubra, Saudi Arabia: Lajnah Ad Da’wah, 1997
54) Taqiyuddîn Abul Abbas Ahmad Ibnu Abdil Halim bin Abdissalam bin Taimiyah, Syadzarâtul Balatîni min Thayyibâti Kalimati Salafunas Shôlihîn, Beirut: Dârul Qolâm, tt
55) Tim Ahli Tauhid, At Tauhîd lish Shaffits Tsani al ‘Alî, Terj. Agus Hasan Bashori, Jakarta: Darul Haq, 1998
56) Tim Editor, “Hamka”, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997
57) Tim Editor, Hidup itu Berjuang: Kasman Singodimejo 75 tahun, Bulan Bintang, Jakarta: 1982
58) www. pangsit. com, 23 Oktober 2004.
59) Yusuf Qardhawi, Al ‘Aqlu wal ‘Ilmu fil Qur’ân, Terj. Abdul Hayyi Al Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 1999
60) http://www.kabupaten-agam. go.id, 08 November 2003 .
61) http://www.media-indonesia. or.id, 12 November 2005.
62) http://www.pks.jak-sel.or.id, Sabtu, 20 Maret 2004.


Tanggapan

  1. Ma’adziratan andzaalik….
    luar biasa…., jika kita memahami dan mendalami serta mempraktikan tasauf ala HAMKA diatas maka era digital ini justru akan mendekatkan diri kita pada Allah Rabbul’alamin, kebahagaiaan sejati dan dinikamti.
    Selamat berasa’uf di era modern.
    Wassalam…

  2. kalau bapak punya buku tentang lembaga hidup hamka, gmn caranya pak agr saya memiliki buku itu karena sedang menulis tentang hamka. terima kasih

  3. Waktu saya menulis tentang Hamka, saya banyak pinjam sama rekanan di Masjid Al Azhar yang tergabung dalam pemuda masjidnya. coba saja antum kesana semoga masih ada. Jika tidak, di Dewan Da’wah Kramat Raya 45 juga menjual buku-buku Hamka. cobalah, sepertinnya masih ada…

  4. subhanallah…
    pelajaran yg sangat berharga ^_^

  5. syukran tulisannya. siapa tau ada info tentang spiritualitas dalam tafsir Al-Azhar karya Hamka. trims.

  6. bagus sekali tulisannya, moga-moga dibalas amal baik dalam tulisan tersebut

  7. Tasawuf harus difahami dan diamaIkan oIeh setiap ummah isiam. Tasawuf harus beIajar dari guru yg benar. Dari Mursyid. BeIajar Tasawuf tanpa gurui yg benar akan menyesatkan. Sama saja berguru dgn IbIis yg akan menyesatkan kita dari aqidah dan jadi musrik


Tinggalkan komentar

Kategori